Perempuan dan Misi Perdamaian Dunia
Pada 27 – 30 November 2023, saya mendapat kesempatan untuk berjumpa dengan perempuan – perempuan selaku tokoh dan aktivis lintas iman se-Asia Tenggara. Dinamika tersebut mengambil tema “Empowering Interfaith Women for Peacebuilding in Southeast Asia.” Merupakan hasil kolaborasi dari komunitas Srikandi Lintas Iman (Srili) Yogyakarta, Pusat Studi dan Pengembangan Perdamaian Universitas Kristen Duta Wacana (PSPP UKDW) Yogyakarta, dan Direktorat Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial Universitas Nahdlatul Ulama (GESI UNU) Yogyakarta, serta didukung oleh International Dialogue Center (KACIID). Mewakili perempuan sekaligus Orang Muda Katolik, saya belajar dari 20 partisipan lintas agama dan/ atau kepercayaan yang berasal dari Yogyakarta, Kuala Lumpur, Singapura, Bangkok, dan Davao. Banyak hal yang saya pelajari mengenai perempuan dan peran pentingnya dalam misi perdamaian dunia.
Perempuan dan agama dan/ atau kepercayaan merupakan fokus perhatian dunia yang kerap kali menjadi judul berita di media masa. Beragam kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan diakibatkan dari adanya ketidaksetaraan gender. Tak jarang pula konflik ditimbulkan dari adanya perbedaan pandangan yang mengatasnamakan suatu agama dan/ atau kepercayaan tertentu. Sekalipun kerap menjadi korban dari kedua konflik tersebut, perempuan memegang peranan penting dalam upaya perdamaian dunia. Melalui pengalaman dialog antar agama dan/ atau kepercayaan dengan partisipan pelatihan, hal yang bisa saya petik ialah mengenai keterlibatan perempuan itu sendiri.
Sepulang dari pelatihan, beragam pertanyaan muncul di benak saya. Sudahkah perempuan terlibat? Sudahkah perempuan dilibatkan? Bagaimanakah bentuk keterlibatan perempuan? Mari kita refleksikan bersama.
Perempuan dan Kesadaran Kesetaraan Gender
“Gender” menjadi sebuah konsep yang dimaklumi oleh masyarakat sebagaimana perempuan dan laki – laki memiliki peran yang berbeda dalam kehidupan sosial. Dalam realisasinya, perempuan belum mendapat hak, tanggung jawab, dan kesempatan yang sama dengan laki – laki. Ketidaksetaraan hak dapat menuntun pada kuasa relasi dominan kaum laki – laki terhadap kaum perempuan. Contoh dari kuasa relasi dominan ialah ketika seorang laki – laki merasa berhak atas kendali tubuh perempuan. Sering kita mendengar berita tentang kasus kekerasan seksual dengan perempuan sebagai korbannya.
Bentuk – bentuk diskriminasi dan kekerasan berbasis gender, yang pada kenyataannya tidak hanya terjadi pada kaum perempuan, menjadi bukti bahwa kesetaraan gender belum terjadi. Kesetaraan gender perlu diperjuangkan. Perempuan harus menyadari bentuk – bentuk ketimpangan gender yang ada di sekitarnya, bahkan yang terjadi pada dirinya sendiri. Langkah awal tersebut ditindaklanjuti dengan upaya pemenuhan hak – hak perempuan seperti hak untuk bersekolah sampai jenjang perguruan tinggi, kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin, peran yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga, dan lainnya.
Ada seorang teman yang pernah mengalami miskonsepsi kesetaraan gender. “Katanya feminis, tapi kok masih mau masak di dapur?” Kesetaraan gender adalah ketika perempuan dan laki – laki memiliki hak dan peran yang seimbang. Laki – laki boleh melakukan pekerjaan di dapur selayaknya perempuan tanpa menggantikan peran perempuan itu sendiri. Sama seperti perempuan boleh bekerja di luar rumah untuk mencari penghasilan yang sama seperti pekerjaan laki – laki.
Keluarga memiliki peran penting untuk menanamkan pemahaman kesetaraan gender. Bahwa perempuan dan laki – laki sama – sama manusia yang memiliki perasaan. Begitu pula dengan laki – laki yang tidak harus selalu memenuhi tuntutan masyarakat. Laki – laki harus selalu kuat, laki – laki tidak boleh menangis, tidak boleh memperlihatkan emosinya, laki – laki harus menjadi pemimpin, harus dominan, dan anggapan toxic masculinity lainnya. Kesadaran kesetaraan gender inilah yang akhirnya membuat perempuan semakin memiliki peran dan keterlibatan nyata, bersama dengan laki – laki berkarya bersama dan berkolaborasi menciptakan dunia yang lebih baik.
Perempuan dan Upaya Perdamaian Dunia
Banyak konflik terjadi dengan mengatasnamakan kepentingan agama. Pada kasus – kasus yang tercatat, perempuan kerap menjadi mediatornya. Contoh kasus yang masih segar dalam ingatan ialah kasus konflik agama di Ambon pada 1999. Berjalannya waktu, kaum perempuan mempelopori gerakan rekonsiliasi dan perdamaian sehingga persaudaraan antar etnis dan agama di Ambon tetap terjaga hingga saat ini.
Masih banyak kasus di mana perempuan menjadi fasilitator perdamaian, khususnya dalam ranah antar-agama dan/ atau kepercayaan. Pertanyaannya, apabila perempuan mampu menjadi mediator dan mendamaikan pihak – pihak yang berkonflik, mengapa perempuan kurang mendapat tempat? Lebih khusus lagi, mengapa perempuan kurang mendapat peran di mana kebijakan perundang – undangan mengenai hubungan antar – agama dan/ atau kepercayaan dirumuskan? Mengapa belum banyak perempuan yang didukung dan saling mendukung dalam upaya perdamaian dunia?
Dalam pelatihan, kami mendiskusikan bagaimana perempuan kurang mendapat safe place untuk berkarya dan bersuara. Sekalipun sudah tercipta banyak tempat aman tersebut, perempuan kurang ada bentuk partisipasi keterlibatannya. Masih saja agama, ras, etnis, dan gender menjadi sumber konflik dan diskrimasi di mana – mana. Keengganan untuk terlibat bisa jadi dari perasaan trauma dan ketakutan akan pengalaman diskriminasi. Perempuan (dan juga laki – laki) mampu sama – sama memberikan ruang aman bagi siapa saja. Ruang aman tanpa diskriminasi, tanpa penghakiman personal, dan sekalipun terjadi konflik dapat diselesaikan secara dewasa. Seperti yang saya alami dalam pelatihan, saya mendapat kesempatan untuk mengungkapkan pendapat pribadi. Semua orang mendengarkan dan mengapresiasi saya sekalipun saya partisipan termuda dan belum mempunyai pengalaman sebanyak partisipan yang lain. Kami saling menghargai walau berbeda latar belakang kewarganegaraan, etnis, agama dan/ atau kepercayaan, serta prinsip pribadi. Suasana suportif itulah yang memotivasi partisipan lainnya untuk inisiatif menyuarakan pendapat dan aktif terlibat dalam diskusi. Women supporting women.
Perempuan dan Keterlibatan dalam Misi Perdamaian Dunia
Terlibat menjadi kunci bagi perempuan (dan siapapun!) dalam upaya perdamaian dunia. Langkah kecil untuk menjaga perdamaian bisa dimulai dari lingkup terkecil terlebih dahulu. Kita bisa memulai dari keluarga dan komunitas. Sebelum itu perlu disadari bahwa semua manusia itu setara. Baik perempuan dan laki – laki beserta dengan identitas aslinya seperti agama dan/ atau kepercayaan, suku, ras etnis, bahkan kewarganegaraan. Keterbukaan dan dialog menjadi langkah berikutnya. Kita bisa menciptakan ruang dialog lintas iman yang inklusif dan terbuka.
Keluarga dan komunitas menjadi lingkup terkecil di mana kita bisa menciptakan ruang – ruang dialog. Duduk bersama membicarakan isu – isu yang relevan. Saling mendengarkan pendapat satu sama lain. Kemudian mengambil langkah – langkah riil untuk menindaklanjuti permasalahan tersebut. Hingga membuat gerakan kecil dan berkelanjutan sebagai hasil buah pemikiran dan diskusi bersama.
Perlu adanya kerendahan hati agar kita mampu mendengarkan orang lain secara terbuka. Keterbukaan menjadi sikap utama yang memungkinkan terciptanya toleransi antar umat beragama. Terbuka pula untuk merangkul siapa saja yang butuh dirangkul secara adil. Terutama bagi perempuan, terbuka untuk saling mendengarkan dan menghargai. Tidak memandang sesama perempuan sebagai saingan, namun justru saling mendukung dan melindungi. Memberikan kesempatan kepada siapa saja yang memiliki keberanian agar terlibat dan berpartisipasi menyuarakan perdamaian. Memberikan motivasi kepada (sesama) perempuan agar tergerak untuk terlibat dan berkarya nyata. Menciptakan ruang berkarya bagi perempuan dan siapa saja yang aman dan nyaman, jauh dari diskriminasi gender. Seperti gereja Katolik yang memberikan kesempatan selebar – lebarnya kepada kaum perempuan, muda maupun tua, untuk ikut terlibat dan berkarya nyata menjadi garam dan terang Kristus.
Jadi, sudahkah perempuan dilibatkan? Sudahkah perempuan melibatkan dirinya sendiri dalam gerakan perdamaian dunia? Sudahkan perempuan – perempuan saling mendukung satu sama lain? Sudahkah perempuan – perempuan yang berkarya dan memberikan kontribusi bagi perdamaian dunia sudah kita dukung?
Mari berefleksi dan ambil bagian dalam mewujudkan perdamaian dunia!
Karya : Angela Merrici Basilika Rain Restuwardani