Meneladani Sosok Kartini tentang Kesetaraan Gender dalam Agama dan Bangsa

Masalah mengenai kesetaraan gender menjadi pembahasan hangat beberapa tahun terakhir ini. Dengan perkembangan zaman yang sudah memasuki Generasi Z, pengetahuan tentang kesetaraan gender bahwa laki-laki dan perempuan setara dalam hal hak dan kewajiban serta fungsinya. Menurut Calon Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Dr. Ani Purwanti, S.H., M.Hum (2022) gender adalah perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh kebiasaan dan ketentuan setempat dalam peran, fungsi, serta hak berperilaku. Gender merujuk pada peran yang dibangun masyarakat dan perilaku yang dipelajari serta keinginan laki-laki dan perempuan yang dikaitkan. Wanita mempunyai kedudukan serta hak yang setara dalam hukum dan pemerintahan, memiliki hak kebebasan manusia serta kebebasan dasar, dimana kebebasan hak-haknya telah ditetapkan dalam peraturan undang-undang.

Jika kita menelusuri kembali sebelum Kartini membebaskan kaum hawa berekspresi dan berkarir sesuai keinginan masing-masing setiap pribadi. Wanita tidak diperbolehkan mengerjakan atau berkarir sesuai passion mereka karena diberatkan untuk melayani sebagai ibu rumah tangga saja seperti merawat anak dan memasak di dapur selebihnya dibebankan hanya kepada pria. Sebagai contoh kita boleh melihat sampai sekarang kebiasaan itu masih berlaku di beberapa tempat seperti di Papua yang pada hari ini wanita yang seharusnya umur sekolah dan umur produktif dikawinkan. Setelah itu tamatlah visi mereka sewaktu sekolah yang  mereka cita-citakan. Sebab dari itu sumber keuangan hanya pada laki-laki dan ketika sumber keuangan terbatas terjadilah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), karena istrinya mengeluh tentang pemasukan sementara laki-laki merasa harga dirinya diturunkan.

Selama abad ke-19 di Indonesia berkonsentrasi gerakan perempuan  untuk menyuarakan akses perempuan yang setara antara laki-laki dan perempuan. Kaum wanita dibatasi oleh konvensi masyarakat dan dibatasi kesempatan yang sepadan untuk mengeyam pendidikan yang tinggi seperti laki-laki. Selain itu, seorang ibu rumah tangga tunduk kepada kepala keluarga mereka dan melakukan tugas-tugas sebagai ibu rumah tangga. Banyak yang tercermin dalam aspek kehidupan bermasyarakat contohnya seperti lontaran swargo nunut neroko katut, yang menyiratkan bahwa penderitaan dan kebahagiaan seorang istri haknya suami pilihan wanita dalam kehidupan sendiri (Amar, 2017). Maka kita bisa lihat bahwa advokasi tentang kesetaraan gender sudah lahir sejak lama. Namun, sampai saat ini masih saja dipersoalkan karena ada pihak laki-laki tertentu yang masih mempertahankan prinsip bahwa posisi  seorang istri lebih rendah dari suaminya. Perspektif ajaran gereja menurut Gaudium et Spes pada artikel 29,  semua manusia mempunyai jiwa yang berbudi dan diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, dengan begitu mempunyai kodrat serta asal mula yang satu. Mereka semua ditebus oleh Kristus dan mengembang panggilan serta visi yang setara juga.

Membicarakan tentang kemampuan wanita dan laki-laki selanjutnya ketika satu pihak tidak terima akan tercipta kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sehingga banyak anak yang jadi korban, lalu menjadi anak-anak terlantar, masuk pesantren, dan tempat penampungan. Maka, saya berani menyimpulkan bahwa dalam hidup tidak bisa menghidupi suatu keluarga hanya oleh seorang suami atau laki-laki tetapi bisa juga oleh seorang istri. Oleh sebab itu, ada baiknya memaknai peran penting sebagai seorang wanita dan pria. Dilihat dari banyaknya kasus yang terjadi, banyak praktik kehidupan seakan-akan kodrat perempuan diremehkan sementara laki-laki ditinggikan sehingga pada saat tertentu ketika suaminya tidak mampu dalam hal ekonomi, politik, dan sebagainya, terjadi  diskriminasi.

Ditulis Oleh : Melkianus Degei

Editor : Divisi Stupen

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *